Sunday, 19 June 2016

Puncak Gantolle Waduk Gajah Mungkur

Butuh waktu kurang lebih dua jam perjalanan yang saya lakukan untuk mencapai tempat ini dari kota Jogja, bukit gantole atau paralayang yang terletak di dekat Waduk Gajah Mungkur Wonogiri Jawa Tengah. Sebenarnya kalau Cuma mau liat landasan gantole tidak perlu jauh-jauh sampai Gajah Mungkur Wonogiri, di daerah Parangtritis juga ada. Berhubung saya sudah pernah mengunjungi yang di Parangtritis maka saya mencoba mengunjungi yang di Wonogiri, owh iya di Puncak gunung Telomoyo Magelang juga ada landasan buat lepas landas Gantolle. Oke kembali kita bahas gantole yang saya kunjungi kemarin yang ada di Wonogiri, kemarin saya berangkat dari Jogja sekitar pukul 2 siang sengaja berangkat siang hari biar pas dilokasi dapet momen menjelang sunset dan cahaya matahari sudah cukup redup dan bagus buat foto-foto. Perjalanan berangkat saya via jalan Jogja-Wonosari dan belok kiri di pertigaan sambipitu mengikuti jalan arah ke Ngawen jalan relatif sepi dan cukup mulus hingga sampai daerah Semin saya sempat kesasar, mengandalkan GPS di Hp ternyata susah sinyal akhirnya pake GPS manual, Gunakan Penduduk Setempat akhirnya dapat pencerahan dan kembali saya temukan jalan yang benar untuk menuju Waduk Gajah Mungkur.
Setelah kurang lebih dua jam perjalanan dengan jarak tempuh sekitar 100 kilometeran dan membuat bokong dan pundak cukup pegel akhirnya terlihat juga air waduk gajah mungkur, untuk mencapai puncak landasan gantole tersebut kita tinggal mengikuti jalan di pinggir waduk tersebut, dan melewati gerbang kawasan wisata waduk gajah mungkur hingga nanti disebelah kiri jalan ada Gapura yang bertuliskan Menara Filter Gantolle, kita tinggal masuk aja kejalan tersebut, sebelum kesana pastikan kondisi kendaraan anda dalam kondisi prima jika tidak mau menanggung malu lantaran ngak kuat nanjak dan pasangan anda dengan terpaksa harus turun dari kendaraan dan jalan kaki atau bahkan mendorong kendaraan anda. Karena tanjakannya cukup curam saya kira lebih dari 70 derajat tingkat kemiringannya, berbeda ketika kita menaiki puncak gunung Telomoyo, kalau disana kan jalannya dibuat melingkari gunung jadi tanjakannya tidak cukup curam, kalau disini jalannya bener-bener curam, kemarin aja sebenarnya kondisi motor saya sudah tidak terlalu fit, karena dijalan beberapa kali rantai motor saya sempet lompat-lompat untung aja ngak sampai lepas.
Setelah melewati tanjakan yang cukup biadab akhirnya sampai juga di area parkir, ternyata sampai sana sudah cukup banyak motor ya walaupun saya kesana pas weekday mungkin kalau weekend bisa lebih rame lagi. Setelah memarkir kendaraan saya berjalan menyusuri tangga untuk mencapai landasan yang ternyata aset milik TNI AU ini, dari atas landasan kita disuguhkan landscape yang cukup ciamik namun sayang agak sedikit mendung namun bentang waduk gajah mungkur masih dapat terlihat jelas, saya kira kalau pas cerah gunung lawu pun akan terlihat dari sini. Sebenarnya didaerah waduk gajah mungkur ini ada dua tempat landasan Gantolle, dan tempatnya lebih keren yang satunya, namun karena sudah sore kami ngak sempet mengunjungi tempat yang satunya. Setelah puas menikmati pemandangan dari atas landasan dan foto sana sini dengan berbagai sudut pandang sayapun kembali turun, karena memang aturan kunjungan di landasan gantolle ini hanya sampai pukul enam petang dan benar saja sampai parkiran saya sudah terdengar adzan maghrib, dan tukang parkir udah triak-triak memberi isyarat agar para pengunjung untuk segera turun. Mengunjungi landasan Gantolle ini kita tidak dimintai restribusi biaya masuk, Cuma parkir motor doang dua ribu rupiah sangat murah bukan?
view dari atas landasan Gantolle

Setelah meninggalkan tempat parkir saya baru sadar kalau jalan yang saya lalui itu gelap gulita dan kebetulan ndak ada barengan waktu turun horotoyoh nek yo horror to, apalagi pas turunan tajam tersebut ternyata ada kuburan juga, partner saya Novi udah ketakutan pengen buruan sampai bawah, saya sebenernya juga takut, tapi saya mencoba tenang dan tidak panik, saya lihat dari belakang juga ngak ada motor sama sekali, dan akhirnya ketemu juga pemukiman warga dan membat hati cukup lega. Perjalanan pulang saya tidak lewat Gunung Kidul, dan mencoba lewat Klaten dan kembali saya dihadapkan dengan jalanan yang belum saya kenali bahkan hampir saja saya menabrak tugu ditengah jalan, karena memang penerangan jalan yang cukup terbatas, hingga akhirnya didaerah Klaten saya ketemu jalan yang dulu waktu pulang dari Gedangsari Village melewati jalan tersebut. Akhirnya kita kembali sampai Jogja dengan selamat kesimpulannya lewat Klaten sepertinya lebih dekat dan lebih cepat, main disore hari memang lebih menyenangkan, namun perlu diinggat jika kita mainnya kedaerah yang belum kita kenali medannya dan juga jaraknya yang cukup jauh harus lebih berhati-hati lagi so tempat ini bisa kamu jadikan untuk menghabiskan waktu sambil menunggu buka puasa atau agenda liburan setelah libur lebaran nanti. salam aspal gronjal lur hehehe  

Monday, 6 June 2016

Masjid Gede Mataram Kota Gede

Masjid Gede Mataram Kota Gede
Marhaban Yaa Ramadhan tak terasa kita telah kembali dengan bulan suci, bulan yang penuh rahmat, berkah dan ampunan ini. Tahun ini puasa Ramadhan 1437H jatuh pada tanggal 6 Juni 2016. Kemarin ahad 5 Juni 2016 saya berkesempatan gowes ke daerah kota gede bersama partner gowes sekaligus guiede si Atun karna rumah nya kota gede. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Kota gede merupakan bekas ibu kota Kerajaan Mataram Islam dan tentu saja saat itu turut andil dalam menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa dan hingga kini menjadi Agama Mayoritas. Beberapa bangunan peninggalan kerajaan Mataram Islam ini masih bisa kita lihat sampai sekarang seperti Masjid Gede Mataram, Makam Raja-raja, Komplek Watu Gilang dan Pasar Gede. Menyusuri gang-gang kecil di kampung Kota gede, membawa kita seperti menjelajah kembali ke masa kejayaan Kerajaan Mataram Islam bangunan jaman dulu masih banyak dan kokoh berdiri sampai saat ini, salah satunya yaitu Masjid Gede Mataram yang saya kunjungi kemarin, Masjid in didirikan pada masa pemerintahan Raja Panembahan Senopati pada tahun 1589 M, dan pernah terbakar pada tahun 1919 M, dan selesai diperbaiki pada tahun 1923 M.
Bangunan Masjid Gede Mataram Kota gede ini mengunakan atap berbentuk Tajug bertumpang tiga pada bangunan utama, dan limasan pada bangunan serambi masjid. Disebelah selatan masjid terdapat Makam Raja-raja Mataram, namyn sayang kemarin saya tidak sempat mengunjungi tempat tersebut. Sebenernya sudah sejak bulan puasa tahun kemarin saya pengen merasakan solat taraweh di Masjid Gede Mataram Kota gede ini namun belum kesampaian, smoga tahun ini bisa menyempatkan untuk merasakan sholat disana. Setelah selesai melihat masjid dari luar saya kembali lanjutkan gowes saya, tujuan selanjutnya yaitu petilasan watu Gilang, watu gilang tersebut konon sebagai tempat singgasana Raja Mataram Panembahan Senopati. Situs watu gilang ini terletak disebelah selatan komplek Masjid dan Makam, batu tersebut terletak didalam sebuah cungkup yang berukuran kurang lebih 3x4 meter, jadi tidak bisa dilihat dari luar, kalau pengen melihat masuk kita harus mengundang juru kuncinya. Cungkup watu gilang ini terletak ditengah jalan, dan dikelilingi oleh 4 pohon beringin yang cukup besar yang melambangkan usia yang cukup tua.

Setelah dari watu gilang saya melanjutkan gowes saya kembali, kali ini kembali ke utara menuju Pasar Gede atau Pasar Legi karena hari pasarannya Legi dalam hari Jawa, kebetulan hari ahad kemarin pas Ahad Legi, jadi pas pasaran, pasar terlihat lebih ramai dari hari biasanya, banyak pendagang yang mengelar dagangannya dipinggir jalan di seputaran pasar gede ini, bahkan kemarin film AADC 2 juga sempet mengambil salah satu adegan dalam shotting di pasar kota gede ini. Namun sayang kemarin saya ngak sempet jajan di pasar kota gede ini, sebenarnya ada beberapa makanan khas dari jaman kerajaan Mataram Islam dulu yang hanya di jual di pasar ini salah satu nya kipo. Setelah melewati kemacetan pasar legi kota gede gowes saya selanjutnya mengitari jalanan kota Jogja, dan meninggalkan daerah Kota gede. Demikian sedikit cerita saya tentang Kota gede, selamat menjalakan ibadah puasa di bulan Ramadhan salam nunggu bedhug maghrib...dug..dug..dug... 

Thursday, 2 June 2016

Green Canyon (Cukang Taneuh)

     
pintu masuk objek wisata Cukang Taneuh
Sudah dua kali saya mengunjungi Pantai Pangandaran namun belum sekalipun saya mampir ke Green Canyon baru dikunjungan yang ketiga kalinya ini saya berkesempatan mengunjungi Green Canyon atau masyarakat setempat menyebutnya Cukang Taneuh. Obejek wisata Green canyon lho kok Green Canyon? seperti nama tempat di Negaranya paman Sam sana ya? Tapi beda Green Canyon disini terletak di Desa Kertayaasa Kecamatan Cijulang dapat ditempuh kurang lebih 30 menit perjalanan dari Pantai Pangandaran. Green canyon merupakan Sebuah sungai yang mengalir dengan air kehijauan *jika anda beruntung tapi, karena kemarin saya pas kesana airnya pas keruh jadi terlihat seperti brown canyon hehehe. Objek wisata Cukang Taneuh atau Green Canyon ini menyajikan keindahan alam berupa air sungai yang kehijauan namun sekali lagi saya tegaskan kalau pas beruntung tapi, karena kemarin saya sempet tanya sama Aa pengemudi perahu yang saya tumpangi, “kira-kira bulan apa A’ kalau air nya pas kehijauan gitu?” si Aa’ pun menjawab “wah kita ngak berani menjamin, karena ini kan hubungannya dengan alam, bisa aja dari kemarin airnya hijau, tapi malamnya hujan trus paginya udah jadi keruh lagi.”
     Ya setau saya memang waktu yang tepat untuk berkunjung ke Cukang Taneuh ini pas musim kemarau, namun tau sendiri to sekarang ini musim begitu labil dan ngak tentu, susah diprediksi, walaupun musim kemaraupun hujan masih sering nonggol secara tiba-tiba tanpa kulon nuwun. Oke lanjut lagi ke pengalaman saya mengunjungi Green Canyon. Masuk keareah Green Canyon kita harus menyewa perahu untuk menyusuri sungai, harga tiket sewa satu perahu Rp. 150.000 untuk lima orang penumpang, terus tambah lagi Rp. 100.000 untuk tarif extra time maksimal 30 menit. Setelah membeli tiket masuk kita menunggu antrian dapat perahu no berapa gitu, beruntung kemarin datang masih pagi, dan pengunjung belum begitu ramai jadi tanpa antri lama kita bisa langsung naik ke perahu, karena kata si Aa’ kalau pas musim liburan loket penjualan tiket jam 9 pagi sudah tutup karena saking banyaknya pengunjung dan antrian bisa sampai sore.
     Dengan Bismillah saya menaiki perahu kecil lebih kecil dari perahu yang biasa dipakai buat melaut, mesinya juga Cuma kecil jadi laju kapalpun tidak bisa terlalu kencang karena posisinya juga melawan arus sungai, dari dermaga tempat saya naik perahu tadi kurang lebih berjarak 3 kilometer untuk sampai ke batu payung tempat para wisatawan bermain air. Sepanjang perjalanan kanan kiri sungai berupa hutan mirip kayak di sungai amazon halah kayak udah pernah ke Amazon aja, palingan juga ke Sungai Progo hahaha. Lama kelamaan pemandangan hutan di kanan kiri sungai itu berbah menjadi tebing batu yang menjulang tinggi dan sepertinya dari sinilah petualangan itu dimulai! Di depan ada aliran sungai yang menyempi dan disisi sebelah kiri ada gundukan tanah yang disitu terdapat seorang petugas yang bertugas mengatur lalu lintas perahu yang naik dan yang turun agar bergantian sehingga tidak terjadi tabrakan, untung aja petugas tersebut ngak sambil minta receh seperti yang marak terjadi saat ini di sela-sela trotoar jalanan.
     Terus masuk keatas kita seolah masuk kedalam goa, hingga akhirnya perahu harus berhenti karena memang sudah tidak bisa naik lagi karena terhalang batu, disini kita ditawari sama Aa’ nahkoda perahu mini, kalau pengen bermain aer sampai ke batu payung kita nambah Rp. 100.000, pikir saya ya ngak masalah udah jauh-jauh sampai sini masak ya ngak sekalian main air dan melihat batu payung secara langsung kan yo rugi bandar hahaha. Akhirnya dari kami berlima yang menaiki perahu mini tersebut hanya kita bertiga yang ikut nyebur, dua teman saya yang lain memilih menunggu di perahu.
     Aliran air Cukang Taneuh ini cukup deras, namun tidak usah kawatir, karena kita sudah memakai pelampung, dan juga ada Aa’ yang selalu siaga mengawal kita selain itu juga sudah ada tali yang dipake buat peganggan menuju lokasi batu payung. Namun walaupun demikian butuh perjuangan lebih untuk bisa sampai ke batu payung, apalagi yang ngak bisa berenang dan juga phobia air hahaha saya sendiri juga sempet panik karena waterproof actioncam saya rembes, selain itu saya juga takur kalau ada bagian dari tubuh saya yang kram karena sebelumnya tidak melakukan pemanasan sama sekali sebelum berenang menyusuri aliran sungai yang arusnya cukup deras, dan saya juga sempat terbawa arus, namun dengan segala upaya yang saya lakukan saya berhasil menepi dan naik ke atas batu seperti teman-teman yang lain.
     Melihat beberapa teman saya pada loncat dari atas batu payung, saya pun juga tertarik untuk ikut merasakan sensasinya loncat dari atas batu payung tersebut, untuk naik keatas batu payung dari tempat saya berdiri saya harus melompat keseberang sungai terlebih dahulu, segeralah saya melopat dan mengikuti arus terus menepi, namun tak disangka dari belakang teman saya ada yang menyusul saya, dan sialnya dia ngak bisa berenang dan panik memegangi saya dan kami terbawa arus, sampai di susul sama si Aa’ pengawal, teman saya disuruh melepas peganggan dari tubuh saya, untungnya saya tidak ikut panik karena saya tau kalau teman saya ini pasti lagi panik, akhirnya dia melepaskan peganggan dari tubuh saya, namun sial bagi saya, batu payung jauh didepan sana, dan saya harus melawan arus deras lagi. Namun karena saya tidak mau capek-capek melawan arus akhirnya saya merambat didinding batu untuk sampe ke batu payung namun ya cukup ngeri boss...
Dengan segala perjuangan saya tadi akhirnya saya berhasil juga berdiri diatas batu payung, namun untuk langsung loncat nyali saya cukup ciut, akhirnya saya minta teman saya yang lain untuk nyusul keatas batu payung lagi, setelah mereka sampai atas trus saya beranikan diri untuk loncatttt sebenarnya sensasi seperti ini serin saya rasakan waktu masa kecil saya dulu waktu sering mandi di kali, byurrrr....beberapa detik kemudia badan ini kembali kepermukaan dan derasnya air membawa saya kehulu, sebenarnya masih pengen loncat lagi, namun si Aa’ sudah ngode untuk ngajak kembali ke perahu, padal saya liat jam tangan saya belum ada 30 menit, dan teman-teman saya yang datang duluan juga masih pada assik disana, sial nih si Aa’ dalam hati saya bergumam.
     Akhirnya saya kembali naik perahu untuk kembali ke dermaga dimana tadi saya naik perahu tersebut, badan terasa capek terutama tangan saya pegel-pegel karena dipaksa buat berenang melawan arus tadi, diperjalan menuju dermaga saya ngobrol lagi sama si Aa’ untuk mengali informasi, Cukang Taneuh ini sebenarnya sudah ada yang mengunjungi sejak tahun 1980an namun mulai rame sekitar tahun 1990an ketika mulai ada stasiun Tv yang liputan di Green Canyon ini, dan semakin kesini semakin rame karena bertambahnya informasi tentang Cukang Taneuh. Semoga besok kalau ada kesempatan mengunjungi tempat tersebut pas airnya kehijauan biar tambah yahuddd. Salam yahuddd.

      

statistics

dwitoro

sebagian kecil cerita hidup saya

Subscribe

Recent

Comment

Gallery

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Follow us on FaceBook

About

Powered by Blogger.

Popular Posts